Kamis, 11 Oktober 2012

Munculya Pactum Unionis dan Subjectionis dalam Terbentuknya NKRI

Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia,


Setelah pelaksanaan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka para pejuang bangsa Indonesia mulai menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyusun alat kelengkapan Negara.pejuang indonesia mulai membuat perjanjian kepada para pejuang lain, kemudian di konfirmasikan oleh penguasa di dalam NKRI tersebut. Penguasa disini adalah presiden. perjanjian itu adalah suatu keputusan, keputusan itu yang di ambil oleh para pejuang setelah kemerdekaan NKRI. Keputusan itu Usaha menyusun alat kelengkapan Negara antara lain dilakukan melalui :

    a. Sidang PPKI yang I, tanggal 18 Agustus 1945, keesokan harinya setelah proklamasi dengan keputusan :
    1. Mengesahkan UUD 1945
    2. Memilih presiden dan wakil presiden
    3. Untuk sementara waktu tugas presiden akan dibantu oleh Komite Nasional
b. Sidang PPKI yang kedua, tanggal 19 Agustus 1945 ,dengan keputusan :
     1. menetapkan 12 kementrian
     2. membagi wilayah RI menjadi 8 propinsi yang dikepalai oleh Gubernur
c. Sidang PPKI yang ketiga, tanggal 22 Agustus 1945, dengan keputusan :
    1. membentuk Komite Nasional Indonesia yang akan berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat yang  berkedudukan di Jakarta, dengan ketuanya Mr. Kasman Singodimejo.
    2. Membentuk Partai Nasional Indonesia, yang ditetapkan sebagai satu satunya partai di Indonesia, namun hal ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan yang menghendaki agar masyarakat diberi kebebasan untuk mendirikan partai politik, hal ini mendorong keluarnya maklumat pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 no X yang berisi tentang pembentukan partai partai politik.
     3. Membentuk Badan Keamanan Rakyat, yang beranggotakan para pemuda bekas HEIHO, PETA dan KNIL, dan anggota anggota badan semi militer lainnya.
Pada tanggal 5 oktober 1945 pemerintah membentuk Tentara keamanan Rakyat (TKR), sebagai panglimanya diangkat Supriyadi, namun karena tidak pernah muncul, maka posisinya digantikan oleh Sudirman, sedangkan sebagai kepala staf umum diangkatlah Oerip Sumoharjo. Nama TKR kemudian diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), sesuai dengan maklumat pemerintah 26 Januari 1946, dan pada tanggal 7 Juni 1947 nama TRI diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pemikiran awal pengaturan hak asasi manusia dalam bingkai negara hukum dimulai ketika John Locke mengemukakan pikiran spekulatifnya mengenai kontrak sosial[3]. Menurut Locke, negara merupakan hasil kesepakatan (pactum unionis) antarrakyat yang dikuasai dengan penguasa (pactum subjectionis), di mana posisi masing-masing pihak wajib dilindungi dan dibatasi oleh aturan hukum yang disebut konstitusi. Maka dari itu, cukup beralasan apabila Noor Syam[4] menjelaskan bahwa berdasarkan isinya, pactum unionis mutatis mutandis dengan konstitusi negara. Perlu pula ditegaskan bahwa pemikiran Locke tentang HAM, kontekstualnya bersifat alamiah yang melekat pada harkat dan martabat manusia, sehingga tidak dapat dialihkan kepada negara, bahkan mewajibkan negara untuk melindunginya. Pemikiran ini menekankan hak asasi menusia pada jaminan perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik yang lebih bersifat individual di satu pihak dan membatasi kekuasaan negara untuk tidak campur tangan dalam urusan hak-hak warga negara di pihak lain



Dalam perjanjian masyarakat terdapat dua tipe, yaitu ’pactum unionis’ dan ’pactum subjektionis’. Pada tahap pertama, diadakan pactum unionis, yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic tadi bersama-sama. Jadi para individu tidak menyerahkan seluruh haknya dan kebebasannya kepada body politic atau kepada seseorang (monarkhi) atau sekelompok orang atau diserahkan kepada masyarakat. Inilah yang disebut pactum subjectionis..


3.  Teori Perjanjian Masyarakat.
Negara merupakan ikatan manusia yang insaf akan arti dan panggilan kodrat. Negara berasal dari suatu perjanjian yang disebut “pactum” dengan tujuan untuk mengadakan ketertiban dan menghilangkan kemelaratan. Grotius merupakan orang yang pertama kali memakai hukum kodrat yang berasal dari rasio terhadap hal–hal kenegaraan. Dan ia menganggap bahwa perjanjian masyarakat sebagai suatu kenyataan sejarah yang sungguh–sungguh pernah terjadi.
b) Thomas Hobbes :
Suasana alam bebas dalam status naturalis merupakan keadaan penuh kekacauan, kehidupan manusia tak ubahnya seperti binatang buas di hutan belantara (Homo homini lupus) sehingga menyebabkan terjadinya perkelahian atau perang semua lawan semua (Bellum omnium contra omnes atau The war of all aginst all). Keadaan tersebut diakibatkan adanya pelaksanaan natural rights (yaitu hak dan kekuasaan yang dimiliki setiap manusia untuk berbuat apa saja untuk mempertahankan kehidupannya) yang tanpa batas.
Dalam keadaan penuh kekacauan, lahirlah natural law dari rasio manusia untuk mengakhiri pelaksanaan natural rights secara liar dengan jalan mengadakan perjanjain. Menurut Thomas Hobbes, perjanjian masyarakat hanya ada satu yaitu “Pactum Subjectionis”, dalam perjanjian ini terjadi penyerahan natural rights (hak kodrat) kepada suatu badan yang dibentuk (yaitu body politik) yang akan membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan umum, hak yang sudah diserahkan kepada penguasa (raja) tidak dapat diminta kembali dan raja harus berkuasa secara mutlak. Melalui teorinya, Thomas Hobbes menghendaki adanya bentuk monarkhi absolut.


Perjanjian masyarakat ada 2 yaitu :
  1. Pactum Unionis : Perjanjian antar individu yang melahirkan negara.
  2. Pactum Subjectionis : Perjanjain anatara individu dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis, yang isinya penyerahan hak–hak alamiah.
C. Kesimpulan
Pada era reformasi, di satu sisi pengakuan dan perlindungan terhadap HAM semakin membaik, namun di sisi lain yang sangat disayangkan adalah adanya kecenderungan meninggalkan Pancasila sebagai asas yang menjiwai sistem hukum nasional di Indonesia. Pancasila tidak saja mengandung nilai budaya bangsa, tetapi juga menjadi sumber hukum dasar nasional, dan merupakan perwujudan cita-cita luhur disegala aspek kehidupan bangsa. Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga harus dijabarkan menjadi norma moral, norma pembangunan, norma hukum, dan etika kehidupan berbangsa. Dengan demikian, sesungguhnya secara formal bangsa Indonesia telah memiliki dasar yang kuat dan rambu-rambu yang jelas bagi pembangunan masyarakat Indonesia masa depan yang dicita-citakan.
Permasalahannya ialah bagaimana mengaktualisasikan dasar dan rambu-rambu tersebut ke dalam kehidupan nyata setiap pribadi warga negara, sehingga bangsa ini tidak kehilangan norma moral sebagai penuntun dan pegangan dalam melaksanakan gerakan reformasi, dan untuk mengatasi krisis multi dimensi termasuk krisis moral yang sedang melanda bangsa dan negara untuk menjangkau masa depan yang dicita-citakan. Apabila bangsa Indonesia tidak dapat mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, maka Indonesia akan terkubur dengan ideologi transnasional (Kapitalisme) yang memang dirancang untuk diberlakukan sebagai satu-satunya nilai yang akan menyatukan umat manusia. Kapitalisme secara operasional berwujud demokratisasi, HAM dan pasar bebas yang bersandar pada individualisme, yang sekarang ini banyak dipuja-puja sebagai nilai dan sistem yang terbaik di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar